Hari kemenangan tiba, suara
takbir menggema seantero desaku tercinta, Sedayulawas. Seperti sudah menjadi
tradisi, setiap malam takbiran setiap tahunnya acara takbir keliling di desa
kami berlangsung meriah. Desa padat penduduk yang terletak di bibir pantai ini
punya hajatan besar di malam itu. PHBI atau Panitia Hari Besar Islam desaSedayulawas menjadi panitia resmi yang ditunjuk oleh aparatur desa menjadi
panitia di setiap ada hajatan besar seperti hajatan di malam ini. Bagaimana
keseruannya? Tenang saja, akan saya ceritakan buat anda.
Tidak seperti tahun-tahun
sebelumnya yang harus saya habiskan di perantauan, lebaran tahun ini saya bisa
pulang kampung. Tentu, kegembiraan yang saya rasakan karena bias pulang kampong,
tidak akan saya makan sendiri, akan saya bagikan buat kamu-kamu juga yang setia
menyimak perjalanan tulisan saya.
Yang paling seru di lebaran tahun
ini adalah takbir keliling. Yah, sebenarnya sih ada banyak hal yang seru-seru,
tapi karena tulisan ini bahas takbir keliling, ya terpakasa deh saya
besar-besarin keseruannya. Hehehe… J
Ngomongin takbir keliling, saya
teringat ketika saya masih belajar mengaji di TPA. Oh iya, ada yang perlu
pembaca tahu, desa Sedayulawas disebut juga sebagai desa seribu TPA. Kenapa
sebab? Karena di desa yang berpenduduk padat ini hanya memiliki tiga masjid
besar, tapi mempunyai ratusan musholah. Yang hamper tiap musholah-musholah itu
terdapat kegiatan belajar-mengajar mengaji ala TPA. Jadi nggak perlu heran,
kalau pas malam hari, anak-anak lebih banyak berkumpul di musholah-musholah
daripada main di jalanan.
Coba bayangkan, apa yang terjadi
ketika ratusan TPA itu dikumpulkan menjadi satu untuk bertakbir keliling desa?
Pasti rame, meriah dan seru banget. Dan itulah yang saya alami ketika masih
mengaji di TPA.
Di tahun ini, saya bukan salah
satu santri TPA. Saya pun tidak menjadi peserta takbir keliling. Tapi keseruan
yang ada di depan mata ketika menonton takbir keliling mengingatkanku dengan
takbir keliling tempo lalu yang saya ikuti.
Tidak ada perbedaan yang
mendasar, tapi, modifikasi terlihat di sana sini. Misalnya, dahulu tidak ada
drum yang digebuk-gebuk, tapi tahun ini ada. Dahulu tradisi membuat obor pun
masih terpelihara, sekarang entah dibuang kemana tradisi membawa obor itu.
Mungkin karena kelangkaan minyak tanah, sehingga beberapa TPA memakai lilin
sebagai penggantinya. Atau bias jadi karena desa sedayulawas sekarang tidak
segelap sedayulawas dulu. Wallahu a’lam bish showab.
Dahulu, obor yang digunakan pun
bermacam-macam. Secara standarnya memakai bambu, tapi yang kesulitan
membuatnya, bias memakai tangkai daun papaya yang didesain sedemikian rupa
sehingga menjadi obor nyentrik yang pas sebagai atribut takbir keliling. Namun
kalau sekarang, anak-anak lebih akrab dengan petasan dan kembang api yang
mewarnai langit sedayulawas. Kelihatannya makin modern kan?
0 komentar:
Posting Komentar