Pernah mendengar kata ujur-ujur?
Untuk masyarakat yang berdomisili di kawasan Sedayulawas, Brondong ataupunBlimbing, kata ini tidak asing didengar. Terutama yang tinggal di daerah
pantai. Ya, ujur-ujur adalah sebuah budaya khas yang ada di kawasan tersebut.
Ujur-ujur merupakan budaya yang
melambangkan kemurahan warga nelayan kepada sesamanya. Ini semua sebagai bentuk
syukur nelayan karena diberikan rizki yang melimpah oleh Allah Swt. Biasanya
setelah kembali dari laut, para nelayan disambut oleh warga yang mengatakan
“Ujur-ujur… ujur-ujur…!” berulang-ulang. Kemudian nelayan yang baru turun laut
itu memberikan hasil lautnya berupa ikan kepada warga.
Beberapa nelayan memberikan
syarat tertentu kepada orang yang bilang ujur-ujur. Sebelum memberikan ikannya
dengan cuma-cuma. Ada yang meminta membersihkan lumut di sepanjang badan
perahu. Ada juga yang meminta membersihkan perahu. Namun yang sering, biasanya
nelayan menyisakan ikan-ikan di jaring, dan memintanya untuk mengambil
ikan-ikan yang belum terambil itu.
Tentu budaya semacam ini tidak
bias ditemui di tempat lain. Budaya yang mengajarkan kemurahhatian kepada
sesame. Dalam bentuk sedekah ikan. Meski beberapa nelayan memberikan syarat
tertentu.
Namun saat ini, ketika kebutuhan
operasional melaut terus melambung tinggi. Harga BBM terus meningkat, utamanya
solar sebagai bahan bakar utama perahu nelayan kecil; jaten. Belum lagi cuaca
yang tidak menentu. Semua itu tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang
didapat. Bahkan tak jarang, para nelayan cenderung merugi karena tenaga harus
terkuras habis di lautan. Sementara hasil tangkapan hanya bias cukup untuk
mengganti harga solar. Ujungnya, budaya ujur-ujur pun kini mulai ditinggalkan.
Belum lagi para pesaing nelayantradisional yang tidak fair. Biasanya oknum-oknum nelayan besar tertentu
menggunakan jaring trawl (baca: trol), yang jelas-jelas melanggar hokum dan
merusak habitat dan biota laut. Jarring-jaring yang terlampau sempit itu
menjangkau sampai ke dasar laut, hingga merusak terumbu karang. Dalam jangka
panjang, nelayan tradisional yang akan menerima akibat dari semua ini. Jumlah
hasil tangkapan ikan yang terus berkurang.
Salah siapa? Tidak ada yang patut
disalahkan. Yang jelas, perhatian dan komitmen pemerintah daerah dalam
memajukan desa berkembang dengan berbasis budaya setempat perlu mendapat porsi
lebih.
hanya absen saja mazz,,,nice post,,,:)
BalasHapusaku ingat dulu saat kecil hari minggu sehabis ngaji subuh di langgar langsung nyebur laut memburu ujur-ujur (andum iwak), biasanya yang melakukan aktivitas ini adalah anak-anak kecil.
BalasHapusKalau para nelayan lagi along (melimpahnya hasil tangkapannya), pasti dapat hasil ujur-ujurnya juga lumayan banyak