Kamis, 19 Januari 2012

Kangen Tradisi Kupatan Di Gunung Menjuluk

Kamis, Januari 19, 2012

Mumpung masih suasana Syawal, boleh dong kalau aku menulis tentang lebaran? Kali ini tentang kupatan, tradisi merayakan lebaran seminggu setelah hari H Idul Fitri. Aku tidak tahu jelas apakah tradisi kupatan ini hanya Mumpung masih suasana Syawal, boleh dong kalau aku menulis tentang lebaran? Kali ini tentang kupatan, tradisi merayakan lebaran seminggu setelah hari H Idul Fitri. Aku tidak tahu jelas apakah tradisi kupatan ini hanya ada di Jawa Timur, Jawa, atau semua orang Indonesia yang merayakan Lebaran.

Sebatas yang aku tahu sih tidak ada tradisi kupatan di Bali. Di Jakarta juga tidak ada. Padahal di Sedayulawas, kampung halamanku di pesisir utara Lamongan, Jawa Timur, kupatan selalu jadi pelengkap lebaran. Bagi anak-anak, kupatan malah lebih meriah dibanding lebaran itu sendiri.

Seperti namanya, dari kata kupat (bahasa Jawa) yang berarti ketupat, kupatan merupakan tradisi merayakan hari seminggu setelah Lebaran dengan makan ketupat. Kalau Lebaran jatuh pada tanggal 1 Syawal, maka Kupatan jatuh pada tanggal 8. Itu pengertian kupatan yang aku tahu. Pada hari ini, bisa dikatakan semua warga desa membuat ketupat. Berbed`
dengan ketupat yang pada umumnya terbuat dari janur, ketupat di desa kami dibuat dari daun lontar (Jawa: gladakan).

Selain berbentuk segi empat seperti ketupat pada umumnya, warga kami juga biasa membuat ketupat berbentuk ayam jago. Ketupat ini disebut jekekrek. Isinya ya sama saja, beras yang sudah dicuci sehingga agak bercampur air.

Ketupat ini biasa dimakan dengan sayur lodeh atau kare. Pada zaman aku masih kecil sih kami bisa tiga kali makan dengan menu sama semua: ketupat dengan sayur lodeh. Ikannya kalau bukan ayam ya tongkol atau ikan layang. Empuknya ketupat bertemu dengan segar dan pedasnya sayur lodeh. Lhep! Kadang yang nggak suka dengan makanan pedas, bias dibuat rujak lontong.

*Menelan ludah sendiri dulu… (duh… nikmatnya…!!)

Sebagai pelengkap, warga membuat lepet (bacanya mirip sepet, bukan mepet), makanan terbuat dari beras ketan yang direbus dalam bungkusan janur. Tanpa lepet, kupat itu tak ada bedanya dengan kupat pada hari biasa.

Ada dua bentuk lepet. Pertama mirip segitiga dengan dua sisi sangat panjang dan sisi bawah pendek. Kedua bentuknya bulat seperti bantal. Di desa kami lepet jenis ini disebut lepet dengkul. Kali karena bentuknya yang seperti dengkul. Atau bisa jadi karena yang bikin mikir pake dengkul. Hahaha..

Kupat dan lepet itu biasa bagi mereka yang merayakan Kupatan. Nah, yang paling unik dari Kupatan di daerahku adalah karena kami merayakannya dengan naik gunung. Gunung itu mungkin lebih pas disebut bukit karena tingginya, menurut perkiraanku, tak sampai 300 meter. Tapi kami toh tetap menyebutnya sebagai gunung. Lengkapnya Gunung Menjuluk..

Zaman aku masih kecil sih kami biasa bawa ketupat, lepet, dan jajan sisa Lebaran untuk naik gunung. Saat itu kalau jajan lebaran masih tersisa saat Kupatan berarti sudah luar biasa. Soale, biasanya cepat banget habis. Perlu waktu sekitar 30 menit untuk sampai punggung gunung. Kami lalu menikmati makanan itu di atas gunung sambil melihat pemandangan di bawah sana.

Di sisi ttara gunung terlihat desa Sedayulawas dan laut utara Jawa. Di barat daya ada desa mungil Mencorek.

Sambil bersantap, kadang ada yang bawa tape berbateri untuk bisa menyanyi, kami juga waspada pada petasan. Kalau sudah kupatan, petasan seolah jadi bahan yang bisa diledakkan di mana saja. Tapi setelah terjadi bom di Bali 2002, semua jenis petasan langsung dilarang, termasuk saat Kupatan.

Memang lebih tenang. Tapi, tanpa petasan saat Kupatan, jujur saja, aku merasakan ada sesuatu yang hilang. Menurutku sih sebaiknya tidak apa-apa ada petasan selama tidak masih dalam batas kewajaran. Samakan saja dengan orang Betawi saat punya hajatan.

Saat ini, kupatan memang makin beda caranya. Biasalah. Selalu ada yang berubah. Makin sedikit oarng yang membawa kupat, lepet, apalagi jajan untuk kupatan di atas gunung. Tapi tetap saja banyak yang naik gunung untuk kupatan. Selain dari desa kami, waga dari desa lain pun memenuhi gunung kecil yang secara administratif milik Desa Sedayulawas.

Maka, banyak orang tumplek blek di atas gunung. Perkiraanku, kalau dihitung total ada sampai 1000 orang.

Karena banyak orang itu, maka Kupatan pun jadi waktu untuk bermaaf-maafan atau sekadar ketemu teman lama. Kupatan juga jadi waktu untuk bertemu dengan teman-teman sekolah.

Tahun ini, aku tidak bias merayakan kupatan. Maklum lah aku sekarang sibuk nyantri nun jauh di sana: Jombang. Mungkin hanya tulisan kecil ini mampu mengobati rasa kangenku akan tradisi kupatan… sudah dulu ya… thanks udah baca.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

1 komentar:

  1. wah,,,,,, jadi kangen sedayu neh............. ni mas nasrul yg mana ya??

    BalasHapus

 

© 2013 BUKU CATATAN MEDIA. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top