Rabu, 11 April 2012

Indonesia Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal)

Rabu, April 11, 2012

Indonesia memang asik kalau nggak ada JIL (Jaringan Islam Liberal). ya nggak? kalau setuju, jangan cuman bilang ya saja. buktikan dengan membaca tulisan Nasrul yang terbaru ini...


Saat Tulisan ini dibuat, 23.197 Facebooker (Pengguna situs Facebook) mengaku “suka” dengan tag berjudul “#IndonesiaTanpaJIL” di situs jejaring sosial buatan Mark Zuckerberg tersebut. 2.065 Facebooker juga telah membahas topik yang lagi hangat ini. Dan nampaknya jumlah ini akan terus bertambah seiring gencarnya sosialisasi menentang liberalisasi di Indonesia.

JIL (Jaringan Islam Liberal) sebagai landmark pemikiran liberal di Indonesia sudah berdiri 11 tahun yang lalu, tepatnya 8 Meret 2001. Utan Kayu 68H memang menjadi markas JIL dan beberapa kelompok budaya, seni dan agama. Selain menjadi markas, Utan Kayu 68H juga menjadi center kegiatan kaum liberal selama 11 tahun.

Dari situlah para aktivis liberal menyebarluaskan pikiran-pikiran sesat dan nyelenehnya ke kalangan umat Islam Indonesia. Talkshow di Radio 68H itu kerap mengangkat tema-tema yang isinya banyak menggugat  syariat Islam. Termasuk milis dan website JIL yang banyak menggugat otentitas al-Qur’an yang menjadi kitab suci umat Islam di seluruh dunia.

Sebagian aktivis JIL melanjutkan studi ke luar negeri, sebut saja Ulil Abshar Abdalla melanjutkan studi ke Universitas Harvard-Amerika Serikat dan Boston University (gelar master), Nong Darol Mahmada ke Australia dan Luthfi Assyaukani ke Singapura. Berbagai diskusi dan seminar digelar JIL secara terbuka kepada masyarakat dan kalangan mahasiswa. Adalah Guntur Romli, aktivis JIL yang terlihat aktif sebagi moderator.

Dalam perjalanannya, aktivis JIL seperti Ulil telah menghasilkan karya sesatnya, diantaranya buku berjudul: “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, Bunga Rampai Surat-surat Tersiar”. Buku ini merupakan kumpulan surat Ulil dengan para anggota milis Islam Liberal sejak ia belajar di Boston satu setengah tahun lamanya.

Hal serupa juga dilakukan Luthfi As Syaukani yang giat menuliskan pemikiran liberalnya ke sejumlah media massa Indonesia. Harian Kompas sempat memuat artikel As Syaukani yang berjudul “Dua Abad Islam Liberal” (2007). Dalam tulisan tersebut, Luthfi menyebut JIL, lembaga yang dibentuk pada 2001 itu sebagai sebuah gerakan pencerahan bagi umat Islam di Indonesia. Ia menganjurkan agar umat Islam bergembira menyambut ulang tahun JIL ketika itu.
Menurut salah satu pentolan JIL Novriantoni, keberadaan JIL adalah untuk menindaklanjuti proyek pembaruan Islam yang sudah ada. Ia tidak menampik, keberadaan sosok Nurcholish Madjid alias Cak Nur ini turut menginspirasi lahirnya JIL. “Kalau dulu di masa Cak Nur, perspektifnya tentang Islam itu inklusif, kini agak melangkah lebih maju ke depan, lebih kritis,” Novi, begitu ia disapa.
Selain Cak Nur beberapa tokoh yang turut menginspirasi JIL adalah mendiang Gus Dur, Munawir Sadzali dan Harun Nasution. Menurut Novi, proyek pemikiran Islam itu semacam mata rantai yang berkesinambungan, tidak terputus.
Gagasan tentang JIL pertama kali dibicarakan di Utan Kayu, tahun 2001 silam. Pada waktu itu, Ulil Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Goenawan Mohamad dan lainnya berkumpul untuk membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain markas JIL, Utan Kayu lebih dulu dikenal sebagai tempat kongkow-kongkow, teater, penerbitan jurnal kalam, dan kantor Radio 68H.
JIL menempatkan tempatnya di Jl. Utan Kayu, meski tidak memiliki hubungan secara struktural dengan teater maupun radio, namun tetap memiliki visi-misi yang sama: menyebarkan faham sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).
Sebelumnya, Asia Foundation merupakan penyokong dana terbesar JIL. Namun, kabarnya, lembaga itu tidak lagi memberikan sokongan dana. Meski aliran dana itu terhenti, aktivis JIL masih banyak mendapatkan dana dari donator-donatur lain, selain dari swadaya sendiri.
Novriantoni yang lulusan Gontor ini, menegaskan kembali, tentang perlunya sekularisme, pemisahan atara wewenang agama dan negara. Negara-negara yang masih teokratis itu adalah negara-negara yang membawa bencana lebih besar daripada negara-negara sekular. “Khilafah adalah utopia yang harus ditinggalkan oleh umat Islam,” kata Novi ngawur. Sementara itu Koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla mengatakan, sekularisme tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam ruang publik. (www.voa-islam.com)
Jika JIL dengan paham liberalis nya menjadi sebuah tantangan nyata,  maka tindakan untuk menghadapinya haruslah tindakan nyata pula. Namun, tindakan nyata ini juga tidak dapat dilakukan jika kita tidak memahami konsekuensi dari perlawanan kita terhadap liberalisme. Kemudian, apa saja konsekuensi itu?
Konsekunsi pertama adalah konsekuensi intelektual. Liberalisme bukan hanya soal kebebasan an, namun juga soal destruktifikasi ajaran Islam. Hal ini dimulai dari penafsiran ulang sumber utama pemikiran Islam, al-Qur’an. Kalangan liberal—yang bukan hanya di Nusantara, menyusun ulang tafsir Qur’an lewat metode yang mereka sebut hermeneutika. Mohammad Arkoun adalah salah satu tokoh Islam Liberal dunia yang berdiri di garis depan dalam hal ini. Sebagaimana dapat kita baca dalam buku “Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an” (Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi), tafsir hermeneutika bukanlah tafsir yang berasal dari para ulama, standar tafsirnya bukanlah aqidah Islam, melainkan nilai-nilai Barat.
Jadi, dengan tafsir ini, Qur’an dipaksa manut pada ide-ide Barat. Maka jangan heran jika “tafsir” mereka, “ijtihad” mereka cenderung membenarkan ide pluralisme, feminisme dan sekulerisme yang notabene menjadi “ajaran-ajaran suci” dari peradaban Barat. Ini tidak termasuk gagasan dan ide-ide liberalnya yang sering “dipaksakan” kepada masyarakat Muslim.
Apa yang sesungguhnya dilakukan kelompok JIL melakukan aksi demo “Indonesia Tanpa FPI” di bundaran HI, hanyalah permen (alias pemanis) saja. Hasrul Azwar mengatakan Gerakan Indonesia Tanpa FPI merupakan aksi diskriminatif. "Gerakan Indonesia tanpa FPI itu diskrminatif, karena gerakan itu membantah sebuah fakta di tengah-tengah masyarakat. FPI itu ada dimana-mana," katanya. (www.inilah.com)
Karena sesungguhnya bukan itu kerja utamanya.  Kerja-kerja utama mereka jauh lebih penting yang tidak terlihat sorot kamera dan mata publik. Yaitu, merancang kurikulum, mendesak undang-undang dan mempengaruhi kebijakan politik.
Oleh karenanya, dalam hal ini para intelektual Muslim punya dua tugas.
Pertama, mereka harus membentengi umat dari model tafsir ini dengan menjelaskan kekeliruannya, dan yang kedua mereka harus kerja keras dalam mereaktualisasi tafsir Qur’an—tentunya dengan metode yang benar—agar dapat menjawab realitas kekinian. Hal ini untuk mengisi kekosongan tafsir al-Qur’an yang hendak direbut oleh kaum liberal. Memang, menghadapi aliran hermeneutika dan derivatnya sama saja menghadapi sekte baru karena pada hakikatnya, dengan menafsir ulang Qur’an dan sumber-sumber dasar ajaran Islam dengan standar ide-ide kufur, kaum liberal sedang mengacak-acak agama Islam, bahkan cenderung membuat semacam “agama” baru.
Konsekuensi kedua adalah konsekuensi politis. Monster liberalisme memiliki wujud nyata bukan hanya ranah pemikiran, melainkan juga realitas politik saat ini, yakni demokrasi. Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Ad-Dimuqratiyah Nizhamul Kufr” (Edisi terjemahan : “Demokrasi Sistem Kufur”) mendefinisikan demokrasi sebagai sistem yang bertumpu pada empat pilar ide kebebasan (liberalisme) : kebebasan berpikir, kebebasan berperilaku, kebebasan berakidah, dan kebebasan kepemilikan. Jelas jenis kebebasan pertama adalah akar dari liberalisme yang selama ini diusung JIL, dari kebebasan berpikir lahirlah tafsir liberal hermeneutika. Kebebasan jenis kedua adalah akibat langsung dari yang pertama.
Kebebasan jenis ketiga sering disebut pluralisme, dan yang keempat adalah kapitalisme.
Meskipun seolah kapitalisme terpisah dari bangunan pemikiran JIL, namun keempat jenis kebebasan tersebut berakar dari asas yang sama, yaitu paham sekulerisme, di mana sistem demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum pada otak manusia (bukan wahyu) menjaga agar isme tersebut tetap eksis dalam tataran legal formal.
Baru-baru ini ditengarai, kalangan liberal “ikut nimbrung” dibalik Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender juga Rancangan Undang Undang tentang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Belum lagi gerilya mereka di kampus-kampus perguruan tinggi Islam. Seperti dimaklumi, banyak dosen di IAIN/UIN lulusan dari Barat yang pulang dengan membawa Islam versi liberal. Bisa dibayangkan, berapa ribu tiap tahun sarjana Islam diluluskan dari dosen-dosen berpikiran liberal?
Memahami siapa dan apa yang kita hadapi dalam perlawanan melawan liberalisme menyeret kita pada sebuah perundingan untuk mereposisi peran ulama dan juga intelektual muslim. Konsekuensi pertama yang dipaparkan di atas memberi tuntutan pada para ulama dan intelektual muslim untuk melakukan tajdid (pembaharuan) atas ajaran Islam. Namun pengertian tajdid di sini tidak boleh terjebak pada pengertian yang diberikan oleh kaum liberal, yang lebih dekat kepada perombakan dan penyimpangan.
Sebagaimana digagas Naquib al-Attas, tajdid haruslah dimaknai pembaruan dari yang ada sekarang menjadi kembali mendekati versi aslinya. Dengan kata lain, tajdid berarti kembali kepada Islam yang sesuai dengan ajaran Rasul, pemahaman para shahabat dan salafus shaleh.
Tajdid juga berarti mengoptimalkan kembali ijtihad agar Islam kembali aktual menghadapi tantangan zaman. Ijtihad yang dimaksud bukanlah hanya ijtihad untuk menghadapi persoalan-persoalan yang muncul hari ini, namun juga menghadapi masa depan. Dengan demikian, Islam menjadi “baru” kembali dalam konteks permasalahan kontemporer.
Sedangkan konsekuensi kedua, yakni konsekuensi politis, membawa kita pada pertarungan intelektual yang berat. Mau tidak mau, para ulama dan intelektual muslim harus meluaskan ruang lingkup kerjanya ke area ideologis-politis. Ijtihad di bidang-bidang semacam harus dimulai dan dikembangkan. Para ulama dan intelektual muslim harus mampu membuktikan bahwa umat Islam dapat lepas dari wordlview Barat, bukan hanya dalam ranah ilmu dan pemikiran, namun juga dalam ranah ijtihad politik, sosial dan ekonomi. Bahwa ada alternatif lain selain demokrasi, memerlukan ijtihad yang serius dan berkesinambungan.
Kerja-kerja intelektual tersebut tentu membawa kita pada permasalahan serius.  Dapatkah para ulama dan intelektual Muslim bersatu dan duduk pada satu meja, mengesampingkan sekat-sekat yang selama ini ada, untuk merekonstruksi ajaran dan umat Islam?
Pada hakikatnya, Islam Liberal hadir memanfaatkan kekosongan visi peradaban pada umat Islam. Oleh karena itu, hanya jika kita dapat menampilkan kembali Islam sebagai sebuah peradaban, gagasan kaum liberal yang membajak Islam akan segera usang dan kehilangan tempat dalam takdir sejarah umat.
Apa yang telah dilakukan lembaga seperti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS), Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS) dan lembaga-lembaga sejenis layak diapresiasi. Karena melawan paham liberal tidak cukup mengerahkan massa di jalanan. Sebab pemikiran tidak bisa habis hanya karena didemo.
Menulis, membuat karya ilmiah, mengadakan training dan kursus, memperkuat kurikulum pendidikan sekolah-sekolah Islam atau pesantren agar steril dari hermeneutika dan sejenisnya justru akan melahirkan pemuda, mahasiswa, sarjana yang secara otomatis menolak paham menyesatkan itu dan semakin bangga dengan peradaban Islam, yang tidak merasa minder dengan Barat. Wallahu A'lam Bishawab.* (www.hidayatullah.com)
(Dari berbagai sumber di Internet)

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

Posting Komentar

 

© 2013 BUKU CATATAN MEDIA. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top