Saat Tulisan ini
dibuat, 23.197 Facebooker (Pengguna
situs Facebook) mengaku “suka” dengan tag
berjudul “#IndonesiaTanpaJIL” di situs jejaring sosial buatan Mark
Zuckerberg tersebut. 2.065 Facebooker
juga telah membahas topik yang lagi hangat ini. Dan nampaknya jumlah ini akan
terus bertambah seiring gencarnya sosialisasi menentang liberalisasi di
Indonesia.
JIL (Jaringan Islam
Liberal) sebagai landmark pemikiran
liberal di Indonesia sudah berdiri 11 tahun yang lalu, tepatnya 8 Meret 2001.
Utan Kayu 68H memang menjadi markas JIL dan beberapa kelompok budaya, seni dan
agama. Selain menjadi markas, Utan Kayu 68H juga menjadi center kegiatan kaum
liberal selama 11 tahun.
Dari situlah para
aktivis liberal menyebarluaskan pikiran-pikiran sesat dan nyelenehnya ke
kalangan umat Islam Indonesia. Talkshow di Radio 68H itu kerap mengangkat
tema-tema yang isinya banyak menggugat syariat Islam. Termasuk milis dan
website JIL yang banyak menggugat otentitas al-Qur’an yang menjadi kitab suci
umat Islam di seluruh dunia.
Sebagian aktivis JIL
melanjutkan studi ke luar negeri, sebut saja Ulil Abshar Abdalla melanjutkan studi
ke Universitas Harvard-Amerika Serikat dan Boston University (gelar master),
Nong Darol Mahmada ke Australia dan Luthfi Assyaukani ke Singapura. Berbagai
diskusi dan seminar digelar JIL secara terbuka kepada masyarakat dan kalangan
mahasiswa. Adalah Guntur Romli, aktivis JIL yang terlihat aktif sebagi
moderator.
Dalam perjalanannya,
aktivis JIL seperti Ulil telah menghasilkan karya sesatnya, diantaranya buku
berjudul: “Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam, Bunga Rampai Surat-surat
Tersiar”. Buku ini merupakan kumpulan surat Ulil dengan para anggota milis
Islam Liberal sejak ia belajar di Boston satu setengah tahun lamanya.
Hal serupa juga
dilakukan Luthfi As Syaukani yang giat menuliskan pemikiran liberalnya ke
sejumlah media massa Indonesia. Harian Kompas sempat memuat artikel As Syaukani
yang berjudul “Dua Abad Islam Liberal” (2007). Dalam tulisan tersebut,
Luthfi menyebut JIL, lembaga yang dibentuk pada 2001 itu sebagai sebuah gerakan
pencerahan bagi umat Islam di Indonesia. Ia menganjurkan agar umat Islam
bergembira menyambut ulang tahun JIL ketika itu.
Menurut salah satu
pentolan JIL Novriantoni, keberadaan JIL adalah untuk menindaklanjuti proyek
pembaruan Islam yang sudah ada. Ia tidak menampik, keberadaan sosok Nurcholish
Madjid alias Cak Nur ini turut menginspirasi lahirnya JIL. “Kalau dulu di masa
Cak Nur, perspektifnya tentang Islam itu inklusif, kini agak melangkah lebih
maju ke depan, lebih kritis,” Novi, begitu ia disapa.
Selain Cak Nur
beberapa tokoh yang turut menginspirasi JIL adalah mendiang Gus Dur, Munawir
Sadzali dan Harun Nasution. Menurut Novi, proyek pemikiran Islam itu semacam
mata rantai yang berkesinambungan, tidak terputus.
Gagasan tentang JIL
pertama kali dibicarakan di Utan Kayu, tahun 2001 silam. Pada waktu itu, Ulil
Abshar Abdalla, Luthfi Assyaukani, Goenawan Mohamad dan lainnya berkumpul untuk
membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain markas JIL, Utan Kayu lebih dulu
dikenal sebagai tempat kongkow-kongkow, teater, penerbitan jurnal kalam, dan
kantor Radio 68H.
JIL menempatkan
tempatnya di Jl. Utan Kayu, meski tidak memiliki hubungan secara struktural
dengan teater maupun radio, namun tetap memiliki visi-misi yang sama:
menyebarkan faham sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme).
Sebelumnya, Asia
Foundation merupakan penyokong dana terbesar JIL. Namun, kabarnya, lembaga itu
tidak lagi memberikan sokongan dana. Meski aliran dana itu terhenti, aktivis
JIL masih banyak mendapatkan dana dari donator-donatur lain, selain dari
swadaya sendiri.
Novriantoni yang lulusan
Gontor ini, menegaskan kembali, tentang perlunya sekularisme, pemisahan atara
wewenang agama dan negara. Negara-negara yang masih teokratis itu adalah
negara-negara yang membawa bencana lebih besar daripada negara-negara sekular.
“Khilafah adalah utopia yang harus ditinggalkan oleh umat Islam,” kata Novi
ngawur. Sementara itu Koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla mengatakan,
sekularisme tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam ruang publik. (www.voa-islam.com)
Jika JIL dengan paham liberalis
nya menjadi sebuah tantangan nyata, maka tindakan untuk menghadapinya
haruslah tindakan nyata pula. Namun, tindakan nyata ini juga tidak dapat
dilakukan jika kita tidak memahami konsekuensi dari perlawanan kita terhadap
liberalisme. Kemudian, apa saja konsekuensi itu?
Konsekunsi pertama adalah
konsekuensi intelektual. Liberalisme bukan hanya soal kebebasan an, namun juga
soal destruktifikasi ajaran Islam. Hal ini dimulai dari penafsiran ulang sumber
utama pemikiran Islam, al-Qur’an. Kalangan liberal—yang bukan hanya di
Nusantara, menyusun ulang tafsir Qur’an lewat metode yang mereka sebut
hermeneutika. Mohammad Arkoun adalah salah satu tokoh Islam Liberal dunia yang
berdiri di garis depan dalam hal ini. Sebagaimana dapat kita baca dalam buku
“Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an” (Adian Husaini & Abdurrahman al-Baghdadi),
tafsir hermeneutika bukanlah tafsir yang berasal dari para ulama, standar
tafsirnya bukanlah aqidah Islam, melainkan nilai-nilai Barat.
Jadi, dengan tafsir ini, Qur’an dipaksa manut pada ide-ide Barat. Maka jangan heran jika “tafsir” mereka,
“ijtihad” mereka cenderung membenarkan ide pluralisme, feminisme dan
sekulerisme yang notabene menjadi “ajaran-ajaran suci” dari peradaban Barat.
Ini tidak termasuk gagasan dan ide-ide liberalnya yang sering “dipaksakan”
kepada masyarakat Muslim.
Apa yang sesungguhnya dilakukan kelompok JIL melakukan aksi demo
“Indonesia Tanpa FPI” di bundaran HI, hanyalah permen (alias pemanis) saja. Hasrul Azwar mengatakan Gerakan Indonesia
Tanpa FPI merupakan aksi diskriminatif. "Gerakan Indonesia tanpa FPI itu
diskrminatif, karena gerakan itu membantah sebuah fakta di tengah-tengah
masyarakat. FPI itu ada dimana-mana," katanya. (www.inilah.com)
Karena sesungguhnya bukan itu kerja utamanya. Kerja-kerja utama
mereka jauh lebih penting yang tidak terlihat sorot kamera dan mata publik. Yaitu,
merancang kurikulum, mendesak undang-undang dan mempengaruhi kebijakan politik.
Oleh karenanya, dalam hal ini para intelektual Muslim punya dua tugas.
Pertama, mereka harus
membentengi umat dari model tafsir ini dengan menjelaskan kekeliruannya, dan
yang kedua mereka harus kerja keras
dalam mereaktualisasi tafsir Qur’an—tentunya dengan metode yang benar—agar
dapat menjawab realitas kekinian. Hal ini untuk mengisi kekosongan tafsir
al-Qur’an yang hendak direbut oleh kaum liberal. Memang, menghadapi aliran hermeneutika
dan derivatnya sama saja menghadapi sekte baru karena pada hakikatnya, dengan
menafsir ulang Qur’an dan sumber-sumber dasar ajaran Islam dengan standar
ide-ide kufur, kaum liberal sedang mengacak-acak agama Islam, bahkan cenderung
membuat semacam “agama” baru.
Konsekuensi kedua adalah
konsekuensi politis. Monster liberalisme memiliki wujud nyata bukan hanya ranah
pemikiran, melainkan juga realitas politik saat ini, yakni demokrasi. Abdul
Qadim Zallum dalam bukunya “Ad-Dimuqratiyah Nizhamul Kufr” (Edisi terjemahan : “Demokrasi Sistem
Kufur”) mendefinisikan demokrasi sebagai sistem yang bertumpu pada
empat pilar ide kebebasan (liberalisme) : kebebasan berpikir, kebebasan
berperilaku, kebebasan berakidah, dan kebebasan kepemilikan. Jelas jenis
kebebasan pertama adalah akar dari liberalisme yang selama ini diusung JIL,
dari kebebasan berpikir lahirlah tafsir liberal hermeneutika. Kebebasan jenis
kedua adalah akibat langsung dari yang pertama.
Kebebasan jenis ketiga sering disebut pluralisme, dan yang keempat
adalah kapitalisme.
Meskipun seolah kapitalisme terpisah dari bangunan pemikiran JIL, namun keempat jenis kebebasan tersebut berakar dari asas yang sama, yaitu paham sekulerisme, di mana sistem demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum pada otak manusia (bukan wahyu) menjaga agar isme tersebut tetap eksis dalam tataran legal formal.
Meskipun seolah kapitalisme terpisah dari bangunan pemikiran JIL, namun keempat jenis kebebasan tersebut berakar dari asas yang sama, yaitu paham sekulerisme, di mana sistem demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum pada otak manusia (bukan wahyu) menjaga agar isme tersebut tetap eksis dalam tataran legal formal.
Baru-baru ini ditengarai, kalangan liberal “ikut nimbrung” dibalik
Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender juga
Rancangan Undang Undang tentang Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Belum lagi
gerilya mereka di kampus-kampus perguruan tinggi Islam. Seperti dimaklumi,
banyak dosen di IAIN/UIN lulusan dari Barat yang pulang dengan membawa Islam
versi liberal. Bisa dibayangkan, berapa ribu tiap tahun sarjana Islam
diluluskan dari dosen-dosen berpikiran liberal?
Memahami siapa dan apa yang kita hadapi dalam perlawanan melawan
liberalisme menyeret kita pada sebuah perundingan untuk mereposisi peran ulama
dan juga intelektual muslim. Konsekuensi pertama yang dipaparkan di atas
memberi tuntutan pada para ulama dan intelektual muslim untuk melakukan tajdid
(pembaharuan) atas ajaran Islam. Namun pengertian tajdid di sini tidak boleh
terjebak pada pengertian yang diberikan oleh kaum liberal, yang lebih dekat
kepada perombakan dan penyimpangan.
Sebagaimana digagas Naquib al-Attas, tajdid haruslah dimaknai pembaruan
dari yang ada sekarang menjadi kembali mendekati versi aslinya. Dengan kata
lain, tajdid berarti kembali kepada Islam yang sesuai dengan ajaran Rasul,
pemahaman para shahabat dan salafus shaleh.
Tajdid juga berarti mengoptimalkan kembali ijtihad agar Islam kembali
aktual menghadapi tantangan zaman. Ijtihad yang dimaksud bukanlah hanya ijtihad
untuk menghadapi persoalan-persoalan yang muncul hari ini, namun juga
menghadapi masa depan. Dengan demikian, Islam menjadi “baru” kembali dalam
konteks permasalahan kontemporer.
Sedangkan konsekuensi kedua, yakni konsekuensi politis, membawa kita
pada pertarungan intelektual yang berat. Mau tidak mau, para ulama dan
intelektual muslim harus meluaskan ruang lingkup kerjanya ke area
ideologis-politis. Ijtihad di bidang-bidang semacam harus dimulai dan
dikembangkan. Para ulama dan intelektual muslim harus mampu membuktikan bahwa
umat Islam dapat lepas dari wordlview Barat, bukan hanya dalam ranah ilmu dan
pemikiran, namun juga dalam ranah ijtihad politik, sosial dan ekonomi. Bahwa
ada alternatif lain selain demokrasi, memerlukan ijtihad yang serius dan
berkesinambungan.
Kerja-kerja intelektual tersebut tentu membawa kita pada permasalahan
serius. Dapatkah para ulama dan intelektual Muslim bersatu dan duduk pada
satu meja, mengesampingkan sekat-sekat yang selama ini ada, untuk
merekonstruksi ajaran dan umat Islam?
Pada hakikatnya, Islam Liberal hadir memanfaatkan kekosongan visi
peradaban pada umat Islam. Oleh karena itu, hanya jika kita dapat menampilkan
kembali Islam sebagai sebuah peradaban, gagasan kaum liberal yang membajak
Islam akan segera usang dan kehilangan tempat dalam takdir sejarah umat.
Apa yang telah dilakukan lembaga seperti Institute for the Study of Islamic
Thought and Civilizations (INSISTS), Center for Islamic and Occidental
Studies (CIOS) dan lembaga-lembaga sejenis layak diapresiasi.
Karena melawan paham liberal tidak cukup mengerahkan massa di jalanan. Sebab
pemikiran tidak bisa habis hanya karena didemo.
Menulis, membuat karya ilmiah, mengadakan training dan kursus,
memperkuat kurikulum pendidikan sekolah-sekolah Islam atau pesantren agar
steril dari hermeneutika dan sejenisnya justru akan melahirkan pemuda,
mahasiswa, sarjana yang secara otomatis menolak paham menyesatkan itu dan
semakin bangga dengan peradaban Islam, yang tidak merasa minder dengan Barat. Wallahu A'lam
Bishawab.* (www.hidayatullah.com)
(Dari berbagai sumber di Internet)
0 komentar:
Posting Komentar