Kamis, 15 November 2012

Etika Menerima Berita

Kamis, November 15, 2012

Berita yang beredar kini bikin gerah saja. artikel ini saya tulis buat ngobatin kekecewaan saya terhadap pemberitaan media kita yang ngawur... lagi-lagi islam jadi korbannya.
*

ETIKA MENERIMA BERITA

Oleh: Muhammad Nasrul
*Santri PPI Al-Izzah Jombang, konsentrasi Pemikiran Islam


“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka bertabayunlah kamu.” (QS. Al Hujurat: 6)

Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Al- Harits menghadap Rasulullah saw. Ia berikrar menyatakan diri untuk masuk Islam. Rasulullah saw pun mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata; “ Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang – orang yang mengikuti ajakanku akan ku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu. “

Ketika waktu yang telah di tetapkan telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al- Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rasulullah saw marah kepadanya. Ia pun telah memanggil para hartawan kaumnya dan berkata,” Sesungguhnya Rasulullah saw telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah saw.

Rasulullah saw, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ketempat yang dituju. Ia melaporkan kepada Rasulullah saw bahwa Al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.

Kemudian Rasulullah saw mengirim utusan berikutnya kepada Al-Harits. Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju ketempat Rasulullah saw. Setelah berhadap-hadapan , Al-Harits menanyai utusan itu; “ Kepada siapa engkau di utus?” Utusan itu menjawab ; “ Kami di utus kepadamu.” Dia bertanya; “ Mengapa? “ Mereka menjawab;” Sesungguhnya Rasulullah saw telah mengutus Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab ; “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar- benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku.

Ketika mereka sampai dihadapan Rasulullah saw, bertanyalah beliau;” Mengapa engkau menahan zakat dan akan membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab ;” Demi Allah yang telah mengutus engkau sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat ini (QS. Al-Hujurat: 6) sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak.

Media Kita Hari Ini
Sangat miris, hanya beberapa hitungan hari saja, kesalahan-kesalahan kode etik jurnalistik menghiasi pemberitaan media kita. Dan kebanyakan pemberitaan itu menyudutkan kemuliaan Islam. Masih segar dalam ingatan kita, ketika sebuah stasiun televisi swasta nasional pada Jumat (14/9) lalu, menyiarkan berita soal rekrutmen teroris yang bertajuk "Awas, Generasi Baru Teroris!" Berita ini melahirkan stigma terhadap ekstrakurikuler ROHIS sebagai sarang melahirkan bibit teroris. Sejak tayangan itu, tidak sedikit orang tua siswa yang melarang anaknya mengikuti kegiatan ROHIS.

Setelah itu, sebuah stasiun televisi swasta lain yang ‘katanya’ mengorientasikan sebagai stasiun televisi berita dan olahraga, resmi diadukan Indonesia Media Watch (IMW) kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lantaran kesalahan pemasangan foto seorang tokoh, sebagai terduga teroris dalam acara andalan beritanya pada Senin (24/09) pkl. 18.30 WIB.

Dan hanya lantaran mendapati buku-buku jihadi, sebuah PonPes diamankan kepolisian. Mereka diduga teroris. Polisi juga mendapati sejumlah senapan angin berada di PonPes tersebut. Sementara itu sebuah situs pemberitaan melansir berita bahwa kelompok ini adalah anggota GAMIS (Gabungan Masyarakat Islam). Lagi-lagi dugaan dan dugaan yang dijual ke publik. Tanpa pernah mencoba meneliti dulu.

Meneliti Setiap Berita
Kebanyakan, ketika kita mendengar suatu kabar, baik dari mulut ke mulut ataupun dari media massa yang kita konsumsi setiap hari, kita cenderung percaya dan menelannya mentah-mentah tanpa ada filter sama sekali. Kita segera meng’amini’ apa yang diberitakan. Kita tidak peduli dengan berita-berita yang sampai kepada kita, apakah berita itu benar ataukah salah. Padahal Allah telah mengajarkan adab agung yang harus kita lakukan tatkala suatu berita sampai kepada kita.

“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”. (QS. Al Hujurat: 6)

Periksalah dengan teliti, inilah etika yang dianjurkan Allah kepada kita. Memilah milih dan mengecek kembali kebenaran suatu berita yang sampai kepada kita. Dalam ilmu jurnalistik hal ini disebut dengan ‘kroscek’. Menggali kebenaran kabar yang masih menjadi buah bibir dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat luas. Digali dari sumber-sumber dan data-data yang bisa dijadikan landasan dan bisa dipertanggungjawabkan salah benarnya suatu berita.

Mengkroscek suatu berita adalah etika seorang muslim. Meskipun kita belum pernah mengenyam pendidikan komunikasi ataupun mengikuti seminar jurnalistik, menilik kembali berita yang sampai kepada kita harus kita usahakan. Agar kita tidak larut dalam arus informasi yang terus menjejali kita dengan berbagai informasi yang ada.

Pentolan Nazzi, Hittler pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus informasi. Suatu hal yang kita anggap tabuh pada walnya akan menjadi suatu hal yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali. Sungguh sangat membahayakan. Jika kita tidak meneliti suatu berita, maka tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi korban berita informasi.

Syaikh  Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata: Ayat  tersebut menunjukkan dua hal yaitu:
1.    Berita yang dibawa orang fasik harus diteliti benar dustanya terlebih dahulu.
2.    Ahlu usul mempunyai dasar bahwa sebuah berita dapat diterima bila dibawa oleh orang yang adil.

As-Shukhowi berkata : Ibnu Abdi Bar memandang bahwa penilaian negatif  terhadap ahlul ilmi tidaklah diterima kecuali dengan argumen yang jelas. Apabila penilaian negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan maka penilaian itu tidak diterima (Fathghul Mughits III: 328)

Siapakah Orang Fasiq yang Dimaksud?
Muhammad Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mendefinisikan ‘Fasiq’ dengan ‘al-khuruj an thaatillah’. Yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah. Suatu titik dimana terjadi kegersanagn iman pada diri seorang muslim. Ibnu Katsier di dalam tafsirnya menyebut fasiq sebagai ‘al-ma’ashi’ atau orang yang melakukan kemaksiatan. Sedangkan As-Sa’di mengartikan, “Seseorang yang pernah melakukan dosa besar dan seringkali melakukan dosa kecil.”

Sudah jelaslah siapa orang fasiq itu. Saat titik iman kita berada di titik lemah keimanannya, kita bisa dicap sebagai orang fasiq. Karena kita hanyalah orang biasa yang tak lepas dari dosa. Kewaspadan terhadap suatu kebenaran berita pun harus kita tumbuhkan sejak kini,karena tidak menutup kemungkinan, orang-orang yang membawakan berita tengah berada dalam kegersangan iman.

Belajar dari Periwayatan Hadits Bukhari
Lepaskan dulu fakta kebobrokan media kita. Kita meluncur ke zamannya Bukhari sejenak, mengambil hikmah dari apa yang pernah dilakukannya.
Ada sebanyak 7275 hadits terdapat di Shahih Bukhari, Bukhari memilihnya dari 600.000 hadits yang dihafalnya. Semua ini karena beliau sangat teliti dalam menerima periwayatan hadits. Beliau memberikan syarat khusus dalam periwayatan seorang rawi hadits, yaitu seorang perawi harus  melihat dan sekaligus mendengar secara bersamaan. Ini adalah satu syarat disamping syarat tsiqah (terpercaya), ‘adalah (adil), dhabth (kuat hafalan), Itqan (profesional), ‘ilm (tahu benar), wara’ (jauh diri dari maksiat, dosa, dan syubhat).

Dan tidaklah al-Bukhari meletakkan suatu hadist dalam kitabnya, kecuali beliau pasti mandi bersuci sebelum itu kemudian shalat dua rakaat. Beliau mulai menulis kitabnya dari Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Dan beliau tidak tergesa-gesa mengeluarkannya untuk manusia sebelum menyelesaikannya. Akan tetapi beliau berulang kali menelitinya dengan mengulang-ulangnya serta memperbaikinya. Oleh karena itu beliau menyusunnya sampai tiga kali hingga keluar dalam bentuk sekarang ini.

Kita berandai, seandainya pewarta kita seperti Imam Bukhari yang teliti itu, kita tidak perlu lagi resah mendengar pemberitaan tentang Islam.

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

1 komentar:

  1. Sangat bermanfaat posting ini buat saya, terimakasih sudah posting ya

    BalasHapus

 

© 2013 BUKU CATATAN MEDIA. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top