Dengan agak bermalasan dan sedikit terpaksa, Dion mengangkat tas sekolahnya, dan segera menemui Ayahnya di garasi yang sudah dari tadi mengklaksonnya agar mempercepat langkah. Namun, Dion yang sedari pagi tidak bersemangat ke sekolah ini tetap acuh saja dengan klaksonan sang Ayah/
“Dion… cepat dong! Ayah keburu telat nih!”
Dion dan keluarganya memang tergolong orang yang berada. Ayahnya seorang pengusaha sukses. Tiap pagi, Dion harus berangkat ke sekolah bersama sang Ayah yang juga hendak ke kantor dengan mobil pribadinya.
“Brak…!!” Suara pintu mobil menutup dengan kencang karena tarikan Dion yang sedikit bertenaga.
Mobil pun berjalan menuju sekolah Dion yang lumayan jauh. Di tengah perjalanan, Dion masih menunjukkan wajah kemalasannya. Sudah beberapa hari terakhir ini Dion enggan berangkat ke sekolah. Dia menganggapsekolah hanya mmbuang-buang waktu saja. Sekolah juga yang menghalanginya untuk bermain Play Station (PS), permainan yang sangat digandrunginya. Tiap hati, Dion menghabiskan waktunya untuk bermain PS. Hingga beberapa tugas harian dan PR dari sekolah sering tidak dikerjakannya. Teguran pun sudah eberapa kali didapatnya dari para guru yang mengajar. Hal ini juga yang membuat Dion bertambah malas berangkat ke sekolah.
“Tok tok tok…!!” Suara jendela mobil diketok dari luar memecahkan lamunan Dion. Saat itu mobil berhenti di perempatan jalan karena lampu merah menyala.
Dion menurunkan kaca jendela mobil. Dilihaynya seorang bocah dengan memegang alat musik tutup botol buatan sedang mengamen. Anak seumurannya itu tampak bersemangat menyanyi dan memainkan alat musik yang sangat sederhana itu.
Dion merasa kasihan dengan kondisi sang pengamen cilik yanga hanya memakai kaos dan celana sederhana itu. Dia pun penasaran dan bertanya-tanya kepada sang pengamen. Diketahui dia bernama Andi, berusia 9 tahun sepertinya. Tak ada kegiatan lain yang dikerjakannya dari pagi hingga sore hari selain mengamen di perempatan. Mendengar hal itu Dion semakin kasihan.
“Trus, kenapa kamu tidak sekolah?” Tanya Dion kemudian.
Agak lama, Andi baru menjawab, “Hm… Sebenarnya aku ingin sekali berangkat ke sekolah. Bisa punya banyak teman, juga bisa meraih cita-citaku kelak.”
“Tapi…” Andi melanjutkan, “Aku harus mengubur cita-citaku dalam-dalam. Sudah sejak lama aku putus sekolah. Kedua orang tuaku tidak mampu membiayaiku. Biaya sekolah terlalu tinggi buat kami. Jangankan untuk sekolah, biaya makan sehari-hari saja kami kesusahan mencarinya. Syukur-syukur bisa makan 2 kali sehari. Jadi hanya ini yang bisa aku lakukan.” Terang Andi.
Obrolan itu terputus tatkala lampu hijau menyala. Mobil yang Dion naiki mulai bersiap-siap tancap gas. Dengan cekatan, Dion merogoh saku celananya, diambillah semua uang sakunya tiga lembar lima ribuan, kemudian dilembarkannya keluar. Mobil pun berlalu. Dion menoleh ke belakang, dilihatya Andi sedang memungut uang yang telah dilemparnya di tengah lalu-lalang kendaraan. Dion merasa iba dengan apa yang dilihatnya.
Dion mendapatkan pelajaran hidup yang sangat berharga. Dia baru menyadari, bahwa selama ini dia tidak pernah mensyukuri dan memanfaatkan apa yang telah ada. Karena, masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung dirinya.
Semenjak saat itu, Dion tidak lagi bermalas-malasan belajar dan berangkat ke sekolah. Kini dia malah bersemangat setiap kali akan berangkat ke sekolah.