Selasa, 20 Agustus 2013

Ujur-ujur, Budaya Pantura Yang Hampir Punah



Pernah mendengar kata ujur-ujur? Untuk masyarakat yang berdomisili di kawasan Sedayulawas, Brondong ataupunBlimbing, kata ini tidak asing didengar. Terutama yang tinggal di daerah pantai. Ya, ujur-ujur adalah sebuah budaya khas yang ada di kawasan tersebut.
Ujur-ujur merupakan budaya yang melambangkan kemurahan warga nelayan kepada sesamanya. Ini semua sebagai bentuk syukur nelayan karena diberikan rizki yang melimpah oleh Allah Swt. Biasanya setelah kembali dari laut, para nelayan disambut oleh warga yang mengatakan “Ujur-ujur… ujur-ujur…!” berulang-ulang. Kemudian nelayan yang baru turun laut itu memberikan hasil lautnya berupa ikan kepada warga.
Beberapa nelayan memberikan syarat tertentu kepada orang yang bilang ujur-ujur. Sebelum memberikan ikannya dengan cuma-cuma. Ada yang meminta membersihkan lumut di sepanjang badan perahu. Ada juga yang meminta membersihkan perahu. Namun yang sering, biasanya nelayan menyisakan ikan-ikan di jaring, dan memintanya untuk mengambil ikan-ikan yang belum terambil itu.
Tentu budaya semacam ini tidak bias ditemui di tempat lain. Budaya yang mengajarkan kemurahhatian kepada sesame. Dalam bentuk sedekah ikan. Meski beberapa nelayan memberikan syarat tertentu.
Namun saat ini, ketika kebutuhan operasional melaut terus melambung tinggi. Harga BBM terus meningkat, utamanya solar sebagai bahan bakar utama perahu nelayan kecil; jaten. Belum lagi cuaca yang tidak menentu. Semua itu tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang didapat. Bahkan tak jarang, para nelayan cenderung merugi karena tenaga harus terkuras habis di lautan. Sementara hasil tangkapan hanya bias cukup untuk mengganti harga solar. Ujungnya, budaya ujur-ujur pun kini mulai ditinggalkan.
Belum lagi para pesaing nelayantradisional yang tidak fair. Biasanya oknum-oknum nelayan besar tertentu menggunakan jaring trawl (baca: trol), yang jelas-jelas melanggar hokum dan merusak habitat dan biota laut. Jarring-jaring yang terlampau sempit itu menjangkau sampai ke dasar laut, hingga merusak terumbu karang. Dalam jangka panjang, nelayan tradisional yang akan menerima akibat dari semua ini. Jumlah hasil tangkapan ikan yang terus berkurang.
Salah siapa? Tidak ada yang patut disalahkan. Yang jelas, perhatian dan komitmen pemerintah daerah dalam memajukan desa berkembang dengan berbasis budaya setempat perlu mendapat porsi lebih.

Senin, 12 Agustus 2013

Kemeriahan Takbir Keliling Di Sedayulawas



Hari kemenangan tiba, suara takbir menggema seantero desaku tercinta, Sedayulawas. Seperti sudah menjadi tradisi, setiap malam takbiran setiap tahunnya acara takbir keliling di desa kami berlangsung meriah. Desa padat penduduk yang terletak di bibir pantai ini punya hajatan besar di malam itu. PHBI atau Panitia Hari Besar Islam desaSedayulawas menjadi panitia resmi yang ditunjuk oleh aparatur desa menjadi panitia di setiap ada hajatan besar seperti hajatan di malam ini. Bagaimana keseruannya? Tenang saja, akan saya ceritakan buat anda.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang harus saya habiskan di perantauan, lebaran tahun ini saya bisa pulang kampung. Tentu, kegembiraan yang saya rasakan karena bias pulang kampong, tidak akan saya makan sendiri, akan saya bagikan buat kamu-kamu juga yang setia menyimak perjalanan tulisan saya.
Yang paling seru di lebaran tahun ini adalah takbir keliling. Yah, sebenarnya sih ada banyak hal yang seru-seru, tapi karena tulisan ini bahas takbir keliling, ya terpakasa deh saya besar-besarin keseruannya. Hehehe… J
Ngomongin takbir keliling, saya teringat ketika saya masih belajar mengaji di TPA. Oh iya, ada yang perlu pembaca tahu, desa Sedayulawas disebut juga sebagai desa seribu TPA. Kenapa sebab? Karena di desa yang berpenduduk padat ini hanya memiliki tiga masjid besar, tapi mempunyai ratusan musholah. Yang hamper tiap musholah-musholah itu terdapat kegiatan belajar-mengajar mengaji ala TPA. Jadi nggak perlu heran, kalau pas malam hari, anak-anak lebih banyak berkumpul di musholah-musholah daripada main di jalanan.
Coba bayangkan, apa yang terjadi ketika ratusan TPA itu dikumpulkan menjadi satu untuk bertakbir keliling desa? Pasti rame, meriah dan seru banget. Dan itulah yang saya alami ketika masih mengaji di TPA.
Di tahun ini, saya bukan salah satu santri TPA. Saya pun tidak menjadi peserta takbir keliling. Tapi keseruan yang ada di depan mata ketika menonton takbir keliling mengingatkanku dengan takbir keliling tempo lalu yang saya ikuti.
Tidak ada perbedaan yang mendasar, tapi, modifikasi terlihat di sana sini. Misalnya, dahulu tidak ada drum yang digebuk-gebuk, tapi tahun ini ada. Dahulu tradisi membuat obor pun masih terpelihara, sekarang entah dibuang kemana tradisi membawa obor itu. Mungkin karena kelangkaan minyak tanah, sehingga beberapa TPA memakai lilin sebagai penggantinya. Atau bias jadi karena desa sedayulawas sekarang tidak segelap sedayulawas dulu. Wallahu a’lam bish showab.
Dahulu, obor yang digunakan pun bermacam-macam. Secara standarnya memakai bambu, tapi yang kesulitan membuatnya, bias memakai tangkai daun papaya yang didesain sedemikian rupa sehingga menjadi obor nyentrik yang pas sebagai atribut takbir keliling. Namun kalau sekarang, anak-anak lebih akrab dengan petasan dan kembang api yang mewarnai langit sedayulawas. Kelihatannya makin modern kan?

7 Lafal Khas Desa Sedayulawas Yang Sulit Ditemukan Di Daerah Lain




Desa Sedayulawas menyimpan banyak keunikan untuk digali. Kali ini, tim nasrulzone berhasil menghimpun lafal-lafal khas yang ada di desa Sedayulawas untuk disajikan kepada kamu-kamu SedayulawasLovers. Well, langsung aja simak yuk.
1.       Megilan (ungkapan sangat)
Selain ungkapan yang dilebay alaykan semacam: elek, menjadi: uelek. Yang berarti sangat atau berlebihan. Yang biasanya digunakan pada kata sifat. Di desa Sedayulawas juga memiliki ungkapan tersendiri yang berarti berlebihan. Ungkapan tersebut adalah “Megilan”. Di dalam kamus bahasa manapun, kata ini tidak didapatkan. Mungkin pakar budaya Sedayulawas kali ya yang harus membuat kamus resmi bahasa danbudaya Sedayulawas. Hehehe…
PendudukSedayulawas sendiri mengartikan kata ini layaknya kata “Banget” dalam bahasa Indonesia. Ataupun ungkapan yang tidak memiliki arti dalam bahasa Indonesia, namun bermaksud sama dengan kata “Banget” atau “Sekali”. Selain itu, kata ini juga sering disejajarkan dengan kata lain sehingga menjadi ungkapan khas Sedayulawas. Seperti, “Lha gak megilan…!”.
Ada lagi ungkapan yang bermakna melebih-lebihkan, yaitu “Cuah”. Dalam pengucapannya terdapat penekanan nada pada huruf “U”. Namun, sepanjang pengamatan penulis, ungkapan ini juga bias ditemukan di daerah-daerah lain.

2.       Parek (dekat)
Parek adalah kata khas yang sering diungkapkan oleh penduduk desa Sedayulawas untuk menunjukkan jarak dekat. Di daerah lain menggunakan kata “Cedak” untuk menunjukkan maksud yang sama. Para pendatang, ataupun orang yang bukan asli penduduk Sedayulawas biasanya masih menggunakan “Cedak” dalam percakapan kesehariannya, meskipun tak jarang mereka juga menggunakan kata “Parek”, karena telah ada asimilasi budaya di dalamnya.
Arti kata “Parek” adalah “Dekat”.

3.       Pelas (daerah lain: gimbal jagung)
Pelas mempunyai tempat tersendiri di hati masyarakat Sedayulawas. Yaitu sebuah makanan khas berupa tumbukan jagung muda dengan campuran bumbu-bumbu tertentu kemudian digoreng. Jajanan ini mudah ditemukan di sepanjang jalan di desa Sedayulawas. Di tempat lain, jajanan ini biasanya disebut dengan “Gimbal Jagung” atau juga “Dadar Jagung”. Namun, di Sedayulawas Pelasnya cukup khas, karena terdapat udang di dalamnya. Maka tak salah, terdapat celetukan “Ada udang dibalik Pelas.”

4.       Riyo-riyo (lebaran)
Orang nonSedayulawas biasanya tertawa geli mendengar orang Sedayulawas menyebut hari raya Idhul Fitri atau lebaran mereka. Karena tidak pada umumnya, masyarakat Sedayulawas menyebut hari lebaran dengan “Riyo-riyo”. Pengulangan dua kata “Riyo”. Tidak seperti di daerah lain yang biasanya menyebut dengan istilah “Riyoyo”, yaitu dengan pengulangan suku kata “Yo” sebanyak dua kali. Ataupun “Bodo”, di daerah lainnya.

5.       Cong (panggilan untuk anak laki-laki)
Tidak hanya di desa Sedayulawas, kata panggilan untuk anak laki-laki “Cong” juga dipakai di daerah lainnya. Setahu penulis, daerah Lamongan utara, Tuban, juga sebagian Bojonegoro juga menggunakan kata panggilan ini. Entah kebetulan atau apa, kata panggilan ini juga digunakan penduduk Madura dalam panggilan kepada anak-anak laki-laki di sana.

6.       Banget (untuk suara keras)
Kalau di daerah lain menyebut suara yang terlalu keras dengan sebutan “Banter”, maka masyarakat Sedayulawas mempunyai kata sendiri, yaitu “Banget”. Dalam bahasa Indonesia berarti suara yang keras, memekakkan telinga atau kata sifat yang khusus diperuntukkan untuk suara.

7.       Ndolok (berhenti)
Kalau diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kata “Ndolok” mendekati makna “Berhenti”. Namun dalam penggunaannya di keseharian, “Ndolok” tidak bias diartikan berhenti. Penduduk Sedayulawas mengartikan kata ini dengan “berhenti dalam melakukan aktifitas” atau “berdiam dari melakukan aktifitas”. Di daerah lain, kata ini mendekati kata “Meneng” (dalam aktifitas) atau “Mandek” (berhenti).
Di desaSedayulawas, kata “Mandek” juga dipakai. Karena antara “Mandek” dan “Ndolok” mempunyai penempatan penggunaan tersendiri.
Itu tadi tujuh lafal di desa Sedayulawas yang berhasil dihimpun tim nasrulzone untuk kamu-kamu yang ingin tahu budaya Sedayulawas lebih lanjut. So, kamu pun mesti bangga jadi orang Sedayulawas dengan budayanya yang unik ini.
Akhirnya, setiap daerah mempunyai hal-hal yang khas masing-masing. Tergantung kita bagaimana menyikapi budaya khas setiap daerah itu. Peribahasa mengatakan, Dimana Bumi Dipijak, Disitu Langit Dijunjung.

Followers

Silahkan mengambil artikel yang ada di blog ini asal mencantumkan sumbernya.BUKU CATATAN MEDIA. Diberdayakan oleh Blogger.

 

© 2013 BUKU CATATAN MEDIA. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top