*
ETIKA MENERIMA BERITA
Oleh:
Muhammad Nasrul
*Santri
PPI Al-Izzah Jombang, konsentrasi Pemikiran Islam
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka
bertabayunlah kamu.” (QS. Al Hujurat: 6)
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan
bahwa Al- Harits menghadap Rasulullah saw. Ia berikrar menyatakan diri untuk
masuk Islam. Rasulullah saw pun mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun
menyanggupi kewajiban itu, dan berkata; “ Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku
untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang – orang yang
mengikuti ajakanku akan ku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya,
kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu. “
Ketika waktu yang telah di tetapkan
telah tiba, tak seorang utusan pun menemuinya. Al- Harits mengira telah terjadi
sesuatu yang menyebabkan Rasulullah saw marah kepadanya. Ia pun telah memanggil
para hartawan kaumnya dan berkata,” Sesungguhnya Rasulullah saw telah
menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada
padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu
mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita
berangkat menghadap Rasulullah saw.
Rasulullah saw, sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan, mengutus Al- Walid bin Uqbah untuk mengambil dan
menerima zakat yang ada pada Al- Harits. Ketika Al-Walid berangkat, di
perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ketempat
yang dituju. Ia melaporkan kepada Rasulullah saw bahwa Al-Harits tidak mau
menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.
Kemudian Rasulullah saw mengirim
utusan berikutnya kepada Al-Harits. Ditengah perjalanan, utusan itu berpapasan
dengan Al-Harits dan sahabat- sahabat nya yang tengah menuju ketempat Rasulullah
saw. Setelah berhadap-hadapan , Al-Harits menanyai utusan itu; “ Kepada siapa
engkau di utus?” Utusan itu menjawab ; “ Kami di utus kepadamu.” Dia bertanya;
“ Mengapa? “ Mereka menjawab;” Sesungguhnya Rasulullah saw telah mengutus
Al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan
zakat, bahkan bermaksud membunuhnya.” Al-Harits menjawab ; “Demi Allah yang
telah mengutus Muhammad dengan sebenar- benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak
ada yang datang kepadaku.
Ketika mereka sampai dihadapan
Rasulullah saw, bertanyalah beliau;” Mengapa engkau menahan zakat dan akan
membunuh utusanku?” Al-Harits menjawab ;” Demi Allah yang telah mengutus engkau
sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat ini (QS.
Al-Hujurat: 6) sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya
menerima keterangan dari sebelah pihak.
Media Kita Hari Ini
Sangat miris,
hanya beberapa hitungan hari saja, kesalahan-kesalahan kode etik jurnalistik
menghiasi pemberitaan media kita. Dan kebanyakan pemberitaan itu menyudutkan
kemuliaan Islam. Masih segar dalam ingatan kita, ketika sebuah stasiun televisi
swasta nasional pada Jumat (14/9) lalu, menyiarkan berita soal rekrutmen
teroris yang bertajuk "Awas, Generasi Baru Teroris!" Berita ini
melahirkan stigma terhadap ekstrakurikuler ROHIS sebagai sarang melahirkan
bibit teroris. Sejak tayangan itu, tidak sedikit orang tua siswa yang melarang
anaknya mengikuti kegiatan ROHIS.
Setelah itu,
sebuah stasiun televisi swasta lain yang ‘katanya’ mengorientasikan sebagai
stasiun televisi berita dan olahraga, resmi diadukan Indonesia Media Watch
(IMW) kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) lantaran kesalahan pemasangan foto
seorang tokoh, sebagai terduga teroris dalam acara andalan beritanya pada
Senin (24/09) pkl. 18.30 WIB.
Dan hanya
lantaran mendapati buku-buku jihadi, sebuah PonPes diamankan kepolisian. Mereka
diduga teroris. Polisi juga mendapati sejumlah senapan angin berada di PonPes
tersebut. Sementara itu sebuah
situs pemberitaan melansir berita bahwa kelompok ini adalah anggota
GAMIS (Gabungan Masyarakat Islam). Lagi-lagi dugaan dan dugaan yang dijual ke
publik. Tanpa pernah mencoba meneliti dulu.
Meneliti Setiap Berita
Kebanyakan,
ketika kita mendengar suatu kabar, baik dari mulut ke mulut ataupun dari media
massa yang kita konsumsi setiap hari, kita cenderung percaya dan menelannya
mentah-mentah tanpa ada filter sama sekali. Kita segera meng’amini’ apa yang
diberitakan. Kita tidak peduli dengan berita-berita yang sampai kepada kita,
apakah berita itu benar ataukah salah. Padahal Allah telah mengajarkan adab
agung yang harus kita lakukan tatkala suatu berita sampai kepada kita.
“Hai
orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu
kaum tanpa mengetahui keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan
itu”. (QS. Al Hujurat: 6)
Periksalah
dengan teliti, inilah etika yang dianjurkan Allah kepada kita. Memilah milih
dan mengecek kembali kebenaran suatu berita yang sampai kepada kita. Dalam ilmu
jurnalistik hal ini disebut dengan ‘kroscek’. Menggali kebenaran kabar yang
masih menjadi buah bibir dan kesimpangsiuran di tengah masyarakat luas. Digali dari
sumber-sumber dan data-data yang bisa dijadikan landasan dan bisa
dipertanggungjawabkan salah benarnya suatu berita.
Mengkroscek
suatu berita adalah etika seorang muslim. Meskipun kita belum pernah mengenyam
pendidikan komunikasi ataupun mengikuti seminar jurnalistik, menilik kembali
berita yang sampai kepada kita harus kita usahakan. Agar kita tidak larut dalam
arus informasi yang terus menjejali kita dengan berbagai informasi yang ada.
Pentolan
Nazzi, Hittler pernah mengatakan, “satu kesalahan yang ditayangkan berulang-ulang
akan menjadi sebuah kebenaran dan akan dibenarkan.” Ya, begitulah sifat arus
informasi. Suatu hal yang kita anggap tabuh pada walnya akan menjadi suatu hal
yang lumrah dan dianggap biasa jika hal itu disajikan berulang kali. Sungguh sangat
membahayakan. Jika kita tidak meneliti suatu berita, maka tidak menutup
kemungkinan kita akan menjadi korban berita informasi.
Syaikh
Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata:
Ayat tersebut menunjukkan dua hal yaitu:
1. Berita
yang dibawa orang fasik harus diteliti benar dustanya terlebih dahulu.
2.
Ahlu usul mempunyai dasar bahwa sebuah berita dapat diterima bila dibawa
oleh orang yang adil.
As-Shukhowi
berkata : Ibnu Abdi Bar memandang bahwa penilaian negatif terhadap ahlul
ilmi tidaklah diterima kecuali dengan argumen yang jelas. Apabila penilaian
negatif tersebut disertai dengan unsur permusuhan maka penilaian itu tidak
diterima (Fathghul Mughits III: 328)
Siapakah
Orang Fasiq yang Dimaksud?
Muhammad Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mendefinisikan ‘Fasiq’
dengan ‘al-khuruj an thaatillah’. Yaitu keluar dari ketaatan kepada Allah. Suatu
titik dimana terjadi kegersanagn iman pada diri seorang muslim. Ibnu Katsier di
dalam tafsirnya menyebut fasiq sebagai ‘al-ma’ashi’ atau orang yang melakukan
kemaksiatan. Sedangkan As-Sa’di mengartikan, “Seseorang yang pernah melakukan
dosa besar dan seringkali melakukan dosa kecil.”
Sudah jelaslah siapa orang fasiq itu. Saat titik
iman kita berada di titik lemah keimanannya, kita bisa dicap sebagai orang
fasiq. Karena kita hanyalah orang biasa yang tak lepas dari dosa. Kewaspadan terhadap
suatu kebenaran berita pun harus kita tumbuhkan sejak kini,karena tidak menutup
kemungkinan, orang-orang yang membawakan berita tengah berada dalam kegersangan
iman.
Belajar dari Periwayatan Hadits Bukhari
Lepaskan dulu fakta kebobrokan
media kita. Kita meluncur ke zamannya Bukhari sejenak, mengambil hikmah dari
apa yang pernah dilakukannya.
Ada sebanyak 7275 hadits terdapat
di Shahih Bukhari, Bukhari memilihnya dari 600.000 hadits yang dihafalnya.
Semua ini karena beliau sangat teliti dalam menerima periwayatan hadits. Beliau
memberikan syarat khusus dalam periwayatan seorang rawi hadits, yaitu seorang
perawi harus melihat dan sekaligus
mendengar secara bersamaan. Ini adalah satu syarat disamping syarat tsiqah
(terpercaya), ‘adalah (adil), dhabth (kuat hafalan), Itqan (profesional), ‘ilm
(tahu benar), wara’ (jauh diri dari maksiat, dosa, dan syubhat).
Dan tidaklah al-Bukhari
meletakkan suatu hadist dalam kitabnya, kecuali beliau pasti mandi bersuci
sebelum itu kemudian shalat dua rakaat. Beliau mulai menulis kitabnya dari Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi. Dan beliau tidak tergesa-gesa mengeluarkannya untuk
manusia sebelum menyelesaikannya. Akan tetapi beliau berulang kali menelitinya
dengan mengulang-ulangnya serta memperbaikinya. Oleh karena itu beliau
menyusunnya sampai tiga kali hingga keluar dalam bentuk sekarang ini.
Kita berandai, seandainya pewarta kita seperti Imam
Bukhari yang teliti itu, kita tidak perlu lagi resah mendengar pemberitaan
tentang Islam.